Sunday, August 29, 2021

SAMPAIKAN SALAMKU PADA PUNCAK

 

SAMPAIKAN SALAMKU PADA PUNCAK

Selasa, 13 September 2016

     Jantungnya berdegup kencang saat memasuki ruangan tersebut. Tangan yang memegang seikat bunga mawar itu bergemetar. Bibirnya sudah tak sanggup untuk berkata lagi, matanya mulai memanas. Setetes demi setetes air mata berlomba jatuh ke pipinya. Suara monitor yang berbunyi memecah keheningan itu terdengar menyakitkan.

     Selamat malam, Ve. Bagaimana kabarmu? Lihatlah, aku bawakan bunga kesukaan kita.” ucap Ara sambil meletakkan bunga dalam vas di sebelah kanan ranjang itu. “Jujur saja, Ve. Aku tidak suka melihat kabel-kabel itu di tubuhmu. Aku yakin kamu pasti baik-baik saja. Dokter-dokter di sini memang sedikit berlebihan.” Hening. Tidak ada suara. “Ve, jawablah. Aku bicara denganmu, bukan monitor itu.” kini air mata sudah tidak bisa ia bendung lagi. Ara menangis untuk yang kesekian kalinya.

     “Ah, sudahlah. Mungkin kau tidak merindukan aku. Bersenang-senanglah di kehidupan bawah sadarmu.” ucapnya sambil menghapus air mata. Itulah kata terakhir yang Ara ucapkan sebelum ia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan seorang gadis yang tergeletak tidak berdaya.

     Tidak ada siapa pun di sini. Semua orang tidak kuasa melihat keadaan gadis kecil itu. Tanpa ada yang menyadari, kedua mata gadis itu mulai terbuka secara perlahan. Semua terlihat buram. Hanya remang-remang cahaya yang ia lihat. Semakin lama pandangannya semakin jelas. Ia bisa melihat seikat mawar putih yang tumbuh segar dalam vas bunga berwarna merah muda.

     Kepalanya terasa sakit. Ia tidak bisa mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Ia terus berusaha untuk mengingat. Namun ia gagal. Bibirnya terangkat ingin mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang sangat ia sukai, sesuatu yang berbahaya dan sangat menantang. Perlahan-lahan pikirannya mulai terbuka. Hatinya menguat akan sesuatu. Suatu hal yang terjadi dua minggu yang lalu.

***

Selasa, 30 Agustus 2016

     Setelah melakukan pelatihan dan perbekalan selama sebulan, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Pukul 3 dini hari, Veyla, Ara, serta 8 anak pecinta alam lainnya tengah berada di perjalanan menuju Gunung Ciremai yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan pendakian melalui jalur Linggarjati yang melewati Kabupaten Kuningan.

     Sebelum sampai di Desa Linggarjati, mereka melewati Gedung Perundingan Linggarjati dan Basecamp Ranger Linggarjati. Sesampainya di Desa Linggarjati, mereka menurunkan semua perlengkapan. Sebagian ada yang mengurus SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) dan membeli tiket, yang lainnya bertugas mengecek ulang logistik dan perbekalan. Linggarjati adalah sebuah desa tempat start pendakian. Di desa ini, suasana terasa ramai oleh hiruk pikuk para pendaki lainnya. Veyla dan Ara memilih menghindar dari keramaian untuk menikmati segarnya udara pagi di kaki gunung dan fajar yang mulai terbit di ujung timur.

     “Ra, pantesan aja waktu zaman kolonial dulu, Linggarjati ini jadi tempat perundingan dan peristirahatan favorit para penguasa. Ternyata, sangat sejuk ya suasananya.” ucap Veyla sambil memejamkan mata mempersilahkan sinar mentari pagi menghangati kedua matanya.

     Ara hanya membalas dengan senyuman kecil yang terukir di kedua sudut bibirnya. Tidak mau kalah dengan Veyla, Ara pun berbaring di atas rerumputan dan membiarkan seluruh tubuhnya terkena cahaya matahari.

     Baru saja Ara memejamkan mata, suara peluit dari Azzam, ketua pendaki hari ini, berbunyi untuk memulai breafing dan doa.

     “Baiklah. Pada pendakian kali ini, saya akan membagi tugas. Rey dan Kido saya tunjuk sebagai tim navigator, karena kalian sudah pernah ke sini dan saya yakin kalian cukup hafal dengan rutenya. Sementara Jason dan Avri, kalian sebagai tim sweeper, karena badan kalian lebih kuat dan sikap kalian yang cekatan.” tutur Azzam memberi pengarahan dalam manajemen perjalanan. “Saya sendiri di sini sebagai leader yang akan membuat keputusan dan memastikan bahwa pendakian berjalan sesuai rencana.” tambahnya lalu dilanjutkan dengan berdoa.

     Pukul 07.00 WIB, perjalanan pun dimulai. Start melalui gapura kecil yang dilanjutkan menyusuri ladang penduduk dan hutan tropis dataran rendah. Di hutan ini, nampak pohon pisang dan rotan-rotan yang tumbuh menjalar sehingga menambah kesejukan.

     Sepanjang perjalanan, tidak ada suara yang terdengar dari mulut mereka, kecuali pengarahan yang sesekali diberikan oleh Azzam. Mereka fokus pada medan perjalanan dan selalu bersikap hati-hati.

     Setelah berjalan sekitar 40 menit, tibalah mereka di Pos Cibunar atau sering disebut Camping Ground. Suasana di sana sangat ramai untuk ukuran lahan datar di hutan. Walaupun Pos Cibunar ini luas, tetapi terasa penuh sesak oleh tenda dan aktivitas para pendaki. Di pos ini juga menyediakan makanan dan minuman yang menggugah selera.

     “Ra, laper nih. Butuh cemilan pagi.” kata Veyla pada Ara yang berdiri di sebelahnya sambil menoleh ke kanan dan kiri mencari tempat duduk kosong di salah satu warung.

     “VeRa, duduk di sini aja. kosong tuh.” Retha, kakak kelas yang memberikan 2 tempat duduk kosong kepada Veyla dan Ara tepat di depannya. Ada pula Fina dan Chika yang berada di samping Kak Retha.

     Tanpa berpikir panjang, mereka langsung duduk di bangku tersebut. Dan tanpa waktu yang lama pula, hangatnya teh dan gorengan pun langsung segera bergantian melewati kerongkongan dan mengisi lapar di perut.

     Setelah perut terisi, barulah mereka segera membagi tugas. Kido, Avri,  Rey, dan Jason bertugas mengambil air di pos ini. Karena di pos inilah sumber mata air terakhir, dan sepanjang perjalanan nanti sudah tidak terdapat sumber mata air lagi.

     Setelah semua persediaan air tercukupi untuk 10 orang selama 2 hari dan semua telah siap melanjutkan perjalanan, maka pendakian pun dimulai kembali. Pos demi pos telah mereka lalui walau dengan peluh dan keringat, tetapi perjalanan ini tetap terasa menyenangkan.

     Setelah melalui Pos Leuweung Datar dan Pos Kondang Amis, mereka menuju ke Pos Kuburan Kuda, sebagai pos ke-4. Trek ke pos ini cukup jauh dan lama. Jalur tanah padat, trek yang cukup sempit, dan akar pepohonan yang mulai mendominasi membuat mereka harus meningkatkan kewaspadaan. Pukul 12 siang tepat mereka tiba di pos tersebut. Perjalanan dihentikan untuk sekedar beristirahat dan memasak.

     Pada tugas kali ini, perempuanlah yang bekerja. Kak Retha bertugas menanak nasi, Veyla dan Chika memasak sayur sop, serta Ara dan Fina bertugas memasak tahu dan tempe. Setengah jam kemudian, nasi beserta lauk pauknya sudah disiap untuk disantap.

     “Meski makanannya sederhana, tetapi terasa nikmat ya, Ve?” Veyla tidak menjawab pendapat dari Ara dan hanya menganggukkan kepala, ia sedang fokus pada makanannya. Selesai makan, sampah tidak lupa disimpan karena kebersihan juga perlu dijaga. Kemudian mereka istirahat sejenak sebelum memulai perjalanan.

     Azzam melirik arlojinya, sudah pukul 13.00 WIB, itu artinya perjalanan harus dimulai kembali. Setelah packing dan memeriksa logistik, perjalanan pun dilanjutkan kembali.

     Sepanjang perjalanan terasa sangat mengasyikkan, karena perut dan kondisi medan yang tidak gersang. Di Gunung Ciremai ini, walau medannya menanjak dan curam, tetapi kondisi hutannya masih terjaga. Inilah yang membuat perjalanan terasa sejuk walau di siang hari.

     Setelah melewati Pos Pangalap, kini saatnya mereka melewati trek yang lebih curam dan menanjak untuk sampai di Pos Tanjakan Seruni. Tanjakan yang menguras tenaga dan memacu adrenalin para pendaki. Tanjakan ini berada di 1825 meter di atas permukaan laut.

     “Veve!!!” teriak Ara sambil berpegangan pada kaki Veyla. Ara hampir saja terpeleset saat merunduk di sebuah jalur yang tertutup pohon tumbang.

     “Hati-hati, tetaplah fokus dan waspada dengan treknya. Jangan ada yang bercanda. Sekali kesalahan bisa berakibat fatal.” ucap Azzam mengingatkan mengenai jalur yang sedang dilalui.

     Cobaan tidak sampai di situ saja, mereka pun harus mendaki dengan berpegangan akar-akar tumbuhan karena curamnya medan. Ara yang semula berada di belakang Veyla, kini sudah berada di depan Veyla.

     Urutan pendakian dari yang paling depan yaitu Rey, Kido, Fina, Chika, Azzam, Ara, Veyla, Kak Retha, Jason, serta Avri. Azzam sesekali membantu Ara yang nampak kelelahan memanjat tanah yang cukup licin.

 

 

     Setelah sampai di Pos Tanjakan Seruni, mereka istirahat sejenak. Pos ini tidak terlalu luas. Di tempat ini hanya bisa mendirikan 3-4 tenda saja. Dan beruntunglah, masih ada 1 tenda yang berada di pos ini. Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan esok pagi dan akan bermalam di sini.

     “Baiklah, sekarang kita akan mendirikan 2 tenda. 1 tenda cowok dan 1 tenda cewek. Kita akan membagi tugas. 2 orang dari masing-masing tenda akan memasak. Dan sisanya mendirikan tenda.” jelas Azzam.

     Setelah berdiskusi dengan tim tenda, Veyla dan Ara bertugas menanak nasi. Kak Retha, Fina, dan Chika akan mendirikan tenda. Sedangkan Azzam dan Jason akan memasak sayur bayam dan tempe goreng. Rey, Adit, dan Kido mendirikan tenda.

     “Ve, pergelangan kaki kananku sakit. Mungkin karena tadi aku habis jatuh kali, ya?” ucap Ara pada Veyla saat mereka sedang menanak nasi.

     “Coba sini aku lihat.” Veyla menggerakkan sedikit kaki Ara. Ara pun meringis kesakitan. “Bentar, aku ambil minyak kayu putih dulu. Di sini banyak nyamuk.” tambahnya.

     Setelah Veyla kembali, ia pun mengoleskan dan memijat minyak kayu putih di pergelangan kaki kanan Ara. “Gimana? Sudah lebih baik?” tanya Veyla.

     “Lumayan, Ve. Udah bisa digerakkin sedikit-sedikit.”

     “Nih, enak banget aku yang mijit. Sana pijit sendiri, aku akan menyiapkan nasi.” Veyla menyerahkan botol minyak kayu putih kepada Ara.

     “Siap, Bos.”

     Setengah jam kemudian, semua makanan sudah siap untuk disantap. Setelah acara makan selesai, mereka pun melanjutkan dengan obrolan yang mulai serius.

     “Apa ada yang sakit di sini?” tanya Azzam kepada seluruh anggotanya.

     “Ara, kaki kanannya sedikit terkilir.” balas Veyla.

     “Saya tidak sakit, hanya saja sangat lelah setelah melakukan perjalanan.” jawab Jason yang disertai dukungan dari Rey dan Adit.

     “Ara, apa terkilirnya parah?” Azzam menghampiri Ara sembari melihat kondisinya.

     “Tidak. Sudah mulai membaik. Besok masih bisa ikut pendakian selanjutnya.” jawab Ara apa adanya.

     “Baiklah, saya di sini akan menegaskan sesuatu. Apapun yang terjadi, pendakian ini harus berhasil sampai ke puncak dan mengibarkan Bendera Merah Putih dan bendera tim. Misalnya, ada kejadian di luar dugaan, anggap saja pendakian kita ini menggunakan sistem Himalayan Tactic walau dalam skala kecil. Jika Ara masih sakit dan tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan, kita bagi tim menjadi dua. Sebagian ada yang menjaga Ara, dan sebagian lagi melanjutkan pendakian.”

     “Tidak, Zam. Aku masih bisa melanjutkan pendakian. Ini hanya terkilir biasa. Besok juga akan sembuh.” Ara merasa tidak enak dengan semuanya.

     “Baiklah, besok kita semua akan melanjutkan pendakian. Sekarang, acara dilanjutkan dengan pesta api unggun.” kata terakhir dalam kalimat tersebut sontak membuat semua anggota memamerkan senyum terbaiknya, tidak terkecuali Veyla dan Ara.

     Api unggun yang dibuat sengaja tidak begitu besar, hanya menggunakan ranting-ranting kecil yang kering. Walaupun begitu, cukup untuk menghangatkan suasana. Kami pun menikmati suasana malam di tengah hutan sambil meminum teh hangat.

     “Sudah pukul 9 malam, besok kita sudah harus melanjutkan perjalanan pukul 6 pagi. Silahkan masuk ke tenda masing-masing.”

***

    Tepat pukul 6 pagi hari, setelah packing dan persiapan selesai, mereka pun berangkat melanjutkan pendakian. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai di pos selanjutnya, yaitu Pos Bapa Tere.

     Kali ini medannya lebih sadis dan curam dari sebelumnya. Perjalanan menuju Pos Bapa Tere akan terasa lebih berat dan melelahkan. Bapa Tere dengan ketinggian 2025 meter di atas permukaan laut adalah sebuah tanjakan yang harus dilalui dengan memanjat karena kemiringannya berkisar 70 sampai 90 derajat. Jalur ini merupakan trek yang terkenal akan kesusahannya di sepanjang jalur Gunung Ciremai. Selain itu, jalur Bapak Tere juga termasuk dalam 7 jalur pendakian paling ekstrem di Indonesia.

     Tak berapa lama, sampailah mereka di trek yang paling ekstrem tersebut. “Di sini, kalian harus memanjat dan berpegangan pada akar pohon untuk sampai ke atas. Harus diperhatikan bahwa nyaris tidak ada lokasi datar untuk membuat tenda, kecuali membuat tenda darurat atau membuka lokasi di rerimbunan pohon.” jelas Azzam dengan posisi sama seperti semula, yaitu berada di depan Ara dan di belakang Chika.

     Di tengah-tengah tanjakan ekstrem yang mempunyai kemiringan hampir 90 derajat dengan bebatuan di sekitarnya itu, Veyla mulai merasa pusing dan lelah. Ia tahu bahwa itu adalah gejala awal dari penyakit ketinggian. Saat Veyla hendak melapor tentang keadaannya, tiba-tiba tangan Ara terpeleset dari akar pohon, dan kaki yang masih agak terkilir menyebabkan tubuhnya bertumpu pada Veyla. Veyla yang berada dalam kondisi tidak stabil terpelenting jatuh ke bawah. Dengan waktu yang bersamaan, Azzam segera menahan Ara dari atas dan Jason menahan Kak Retha yang hampir jatuh, sedangkan Avri berusaha mengambil Veyla namun ia terlambat.

     Karena trek yang terlalu miring mengakibatkan Veyla dengan cepat menggelinding ke bawah menabrak beberapa batang pohon, dan di belakangnya juga ada beberapa batu yang cukup besar ikut menggelinding. Tubuhnya terhenti ketika tangannya menahan salah satu batang pohon. Namun, batu di belakangnya terus menggelinding dan menabrak tubuh kecilnya. Veyla merasa sakit di seluruh tubuh dan tiba-tiba semua pandangannya menjadi gelap.

***

     Veyla membuka mata. Ruangan itu sudah tidak asing lagi baginya. Dia bisa mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Sakit yang ada pada sekujur tubuhnya, untuk sejenak tergantikan oleh senyum pahit yang terukir di kedua sudut bibirnya.

     Sia-sia, sungguh sia-sia. Aku tidak bisa menikmati indahnya puncak Gunung Ciremai yang indah itu. Saat ini, aku hanya berbaring lemah beralaskan kasur dengan infus yang menempel bagaikan magnet. Perbekalan yang telah kusiapkan selama sebulan, sudah tiada artinya. Kini, aku hanya bisa menitipkan salam pada udara yang terhembus dari nafasku. Berharap ia akan menyampaikan pada puncak di mana pernah menjadi tujuan perjalananku.

Sunday, August 15, 2021

SUKA DIBALIK DUKA

 

Suka Dibalik Duka

     Duarrr!!! Suara gemuruh ombak merah berlomba menyapu daratan Lampung terdengar dari radius 160 km. Gumpalan awan hitam mulai memenuhi seluruh lapisan langit. Matahari sudah tak lagi tampak. Langit penuh dengan bunga api bak bala yang diturunkan Tuhan. Kegelapan menyelimuti bumi dan gempa yang tiada henti. Gelombang tsunami menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatera hampir 40 km jauhnya.

     Hujan abu panas mengguyur sekitar wilayah Krakatau. Ketinggian kabut asap diperkirakan mencapai 80 km. Energi yang dilepaskan setara dengan 200 megaton TNT. Tak satupun selamat dari total 3000 orang penduduk Pulau Sebesi yang berjarak 13 km dari krakatau.

     Letusan besar terakhir terdengar hingga 3000 mil jauhnya. Berkali-kali gunung itu mengutarakan amarahnya. Namun, amarah terakhir ini menyebabkan 20 juta ton sulfur dilepaskan ke atmosfer yang menyebabkan suhu di seluruh dunia turun dengan rata-rata 1,2 C selama 5 tahun. Gunung itu telah menghancurkan  bagian tubuhnya.

     Entahlah, sudah berapa ratus ribu orang yang kehilangan nyawa, berapa juta orang yang terluka, dan berapa miliar tetes air mata yang berduka atas kejadian itu. Luka dalam itu terbesit dalam pikiranku. Bagaimana cara mereka yang tersisa saat ini bertahan hidup? Akses jalan sudah tertutup total. Berbagai bantuan datang dari seluruh sudut belahan dunia.

     Kini para pengungsi ditempatkan di suatu posko di Provinsi Lampung. Aku dan tim medis lainnya tengah menyiapkan berbagai perbekalan untuk para korban yang selamat atas kejadian mengerikan tersebut. Terlihat tim medis sibuk menangani para korban dengan berbagai kondisi yang memprihatinkan. Perhatianku teralihkan dengan sosok anak kecil yang berlari kesana kemari membawa segelas air.

     “Ini untukmu, minumlah.” ucap gadis itu menyodorkan segelas air kepada seseorang yang umurnya lebih tua darinya. Dia tampak begitu senang, tak ada perasaan sendu dalam kedua mata itu. Dia menoleh dan menatap tajam ke arahku, lantas tersenyum dan menghampiriku.

     “Apa ada yang bisa aku bantu, Nona?” tanyanya menawarkan bantuan.

     “Tidak, Tuan Putri.” jawabku membuatnya tertunduk sedih. “Tapi jika kau bersedia, maukah membantuku membagikan makanan kepada orang-orang di sini?”

     Seketika raut wajahnya berubah, “Tentu saja, ayo.” dia menggandeng dan menarik tanganku dengan lembut. Aku membawa kardus berisi makanan dan dia yang memberikan kepada para pengungsi. Langkah gadis polos itu terhenti ketika melihat seorang batita yang bermain penuh kebahagiaan dengan ayahnya.

     “Ada apa, Gadis Manis?”

     “Tidak, aku hanya teringat pada ayahku yang sekarang entah ada di mana. Ibuku sudah meninggalkan aku dan ayah serta memilih hidup bersama lelaki lain.”

     Aku terkejut mendengar jawaban gadis belia itu, bagaimana ia bisa mngetahui permasalahan yang terjadi antara kedua orang tuanya?

     “Tapi tenang saja, aku sudah terbiasa tanpa ibu, dia memang bukan ibu yang baik. Walaupun banyak orang berkata tak ada ibu yang tak sayang putrinya. Sudahlah, aku tak ingin membahasnya lagi. Mari kita lanjutkan pekerjaan ini.” tambahnya mengakhiri pembicaraan tentang kondisi keluarganya.

     “Istirahatlah, kau tampak lelah. Biar aku dan teman-temanku saja yang melanjutkan.”

     “Baiklah. Panggil saja aku di sudut taman itu jika Nona perlu. Sampai jumpa.”

     “Tunggu!” aku menarik tangannya dan melihat nama dari kertas yang digelangkan di tangannya. “Zahira Fallista, 9 tahun. Nama yang indah.”

***

     “Tolong, Tolong!!!” suara itu muncul dari balik tenda yang saat itu berada tak jauh dari tempatku. Aku mencoba mencari sumber suara tersebut.

     “Siapa di sana? Apa ada yang membutuhkan pertolongan?” Hening. Aku mencari kesana kemari.

     “Tolong!!!” suara itu terdengar kembali dan tertuju pada sebuah bangunan yang sudah runtuh. Jangan-jangan, suara itu ada di balik reruntuhan gedung itu, pikirku dalam hati.

     “Halo, Tuan. Dimana Anda?” aku mencoba menyingkiran beberapa puing-puing bangunan itu.

     “Tolong. Di bawah sini, Nona.”

     Ya Tuhan. Dia ada di balik reruntuhan bangunan besar itu.

     “Tunggu sebentar, Tuan. Aku akan segera kembali dengan membawa bantuan.” Tanpa berpikir lama dan panjang, aku langsung memanggil beberapa orang untuk menyelamatkan orang itu.

     Satu persatu bongkahan besar itu mulai diangkat dan dipindahkan. Tubuh orang itu sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit. Dan akhirnya orang tersebut berhasil diselamatkan walau dengan kondisi yang tidak memungkinkan.

     “Segera bawa dia ke rumah sakit sementara, dia akan mendapat beberapa bantuan medis di sana.” ucapku mengarahkan.

     Peralatan medis mulai disiapkan untuk menangani pasien tersebut. Luka-luka yang ada di tubuh pria itu mulai dibersihkan dan ditangani dengan cepat. Entah sudah berapa lama dia mendekam di bawah reruntuhan. Tubuhnya sangat lemah dan tidak berdaya. Tuhan sungguh baik menyelamatkan pria malang itu.

     “Mili, tolong jaga dia sebentar. Aku akan segera kembali dengan beberapa konsumsi untuknya. Lihatlah, dia belum makan atau minum selama beberapa hari.” ucap Nisa, teman seperjuangan.

     Aku memandang pria itu, mirip dengan seseorang yang baru-baru ini aku kenal. Kutebak dia sudah berumur kepala 3. Tunggu sebentar, dia benar-benar mirip dengan seseorang, Siapa ya? aku berpikir dengan keras hingga kerongkonganku terasa kering. Aku beranjak untuk mengambil segelas air. Namun tiba-tiba, ada tangan yang menghentikan langkahku. Aku terkejut tidak karuan. Ternyata pria itu telah sadar.

     “Terima kasih telah menolongku.” kata pria itu dengan mata berkaca-kaca.

     “Tidak perlu berterima kasih, itu sudah menjadi tugas saya,”

     “Jika tidak ada Anda, entah bagaimana hidup saya nanti.”

     “Berterima kasihlah kepada Tuhan, karena Dia yang sudah memberi petunjuk kepada saya.”

     Tak lama kemudian, Nisa datang dengan membawa semangkuk sop dan segelas teh hangat.

     “Makanlah dahulu, kau pasti sangat lapar.” aku meyodorkan semangkuk sop. Namun, sepertinya dia masih terlalu lemah untuk makan dengan tangannya sendiri. Terlihat tangannya bergemetar dan beberapa sop tumpah.

     “Biarkan saya membantu Anda.” Sesuap demi sesuap nasi ditelannya dengan rasa syukur. Tiba-tiba sebuah bayangan terpantul ke dinding.

     “Tunggu sebentar.” aku melangkahkan kaki ke luar ruangan. Tampak seseorang tengah menungguku.

     “Hai. Ada yang bisa kubantu, Gadis Kecil?”

     “Aku menemukan gelang. ini diberikan ayah saat aku ulang tahun yang ke-7, aku menemukan ini di sekitar sini. Apa ini artinya ayahku masih hidup?” gelang bewarna merah muda dan berbentuk kotak itu diperlihatkannya padaku. Terukir nama Zahira di sana, gelang yang cantik.

     “Aku akan selalu berdoa atas keselamatan ayahmu. Dimana pun dan kapan pun dia berada. Untuk sementara ini, kau tidak perlu khawatir. Aku akan menjagamu dengan baik. Mengerti?” aku memasangkan gelang itu di tangannya. Dia lantas memelukku dengan perasaan rindu. Bukan kepadaku, tetapi ayahnya.

     “Ayah akan sangat senang mendengar hal ini.”

     “Sudahlah tidak perlu bersedih. Kita doakan saja, semoga ayahmu baik-baik saja. Bagaimana jika setelah ini kita mencari ayah bersama-sama?”

     “Janji?”

     “Janji!”

***

     “Iraaa!!!” teriak pria itu membuat panik seluruh isi ruangan. Aku berusaha membangunkannya, tapi ia tak kunjung bangun.

     “Sadarlah, Pak. Sadarlah.”

     “Iraaa, Nona. Anak saya, tolong selamatkan dia. Oh tidak, saya harus mencari anak saya.”

     “Tenang, Pak. Saya akan membantu mencarikan anak Anda. Jangan khawatir.”

     Jam menunjukkan pukul 1 siang. Aku harus pergi atau aku akan menyakiti hati seorang anak yang tidak berdosa. Baru saja kupikirkan, dia sudah datang menemuiku.

     “Apa Anda sudah siap?” tanya dia dengan sifat polosnya.

     “Siap, Nisa gantikan aku sebentar. Aku harus pergi sekarang.”

     “Ayo, cepatlah.” dia menarik tanganku. Dengan tidak sengaja, pria itu melihat gelang yang ada di tangan Zahira. Lantas dia memanggil-manggil. Namun, aku dan Zahira tidak mendengar dan terus melanjutkan perjalanan.

     Sudah tiga jam berlalu, namun ayahnya tak kunjung ditemukan. Aku melihat semangatnya pudar. Dia putus asa.

     “Hei, sudahlah. Jangan bersedih, kita bisa mencari lagi besok pagi.”

     “Aku bahkan belum mengucapkan selamat tinggal.”

     “Hari mulai malam, ayo kita kembali.”

     Hari berganti hari, tak terasa sudah dua minggu aku tinggal di posko pengungsian ini. Aku semakin dekat dengan Zahira. Hampir setiap malam aku tidur dengannya. Seperitnya aku harus kembali, pria yang dirawat itu juga sudah membaik keadaannya.

     Apa yang harus aku katakan pada gadis kecil itu? Sudah hampir dua jam aku memikirkan bagaimana cara harus meninggalkannya. Aku sendiri tidak tega melihat dia. Aku harus segera bersiap-siap.

     “Nona mau kemana?” terdengar suara lembut itu di balik pintu, “Apa Nona ingin pergi? Aku masih belum menemukan ayahku.”

     “Mili, ada yang ingin menemuimu.” ucap Nisa kepadaku.

     “Suruh saja dia masuk.” jawabku singkat.

     “Hei, tolong janganlah bersedih. Aku tak ingin membuatmu menangis.” tambahku kepada gadis belia itu.

     “Lalu siapa yang akan menjagaku?”

     Tanpa disadari, pria yang ingin menemuiku sudah berdiri di depan pintu. Dia mendengar percakapanku dengan Zahira. Dia menangis melihat gelang yang ada di tangan Zahira. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun air mata menghentikannya.

     “Ira” ucapnya terdengar lirih.

     “Ira...” kakinya sudah mulai melemas hingga ia terjatuh. Aku dan Ira menoleh ke pria itu. Saat aku hendak menolongnya, Zahira menahan tanganku. Lantas aku menoleh ke arahnya, dia melihatku dengan berkaca-kaca. Ia menangis. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi.

     “Ada apa? Mengapa kalian menangis?” tanyaku bingung.

     “Nona, dia adalah ayahku.” jawab Zahira.

     Aku terkejut, sudah beberapa hari ini aku merawatnya. Tapi mengapa aku tidak menyadari hal ini. Tunggu, mereka memiliki kemiripan. Mata itu. Ya, mata itu. Sama dengan pria yang waktu itu aku tolong.

     Zahira berjalan perlahan ke arahnya, dadanya penuh sesak. Ia tak sunggup berkata apa-apa. Gadis itu mengulurkan tangannya, berniat membantu pria yang terjatuh itu. Pria itu menarik tangannya dan membawa Zahira ke pelukannya.

     Sungguh suasana penuh haru. Tak terasa air mata juga sudah membanjiri pipku. Kenapa selama ini aku buta dan tidak sadar? Apa yang kulakukan?

     “Ira, ayah akan segera membawamu dari sini. Kita akan pergi ke rumah nenek di Surabaya sekarang juga.” Ira tampak senang dengan ajakan dari ayahnya yang selama ini ia cari.

     “Tunggu sebentar, Ayah.” Ira membalikkan badan dan berjalan ke arahku.

     “Nona Mili, terima kasih telah merawat dan menjagaku selama ini layaknya seorang ibu. Untuk itu, boleh aku meminta satu hal lagi darimu?”

     “Tentu saja. Apa yang kau minta, Sayang?”

     “Hmmm... bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan Ibu?” aku terkejut setengah mati. Bibirku kaku tak kuasa untuk mengucapkan kata-kata. Tanpa disadari, aku menganggukkan kepala.

     “Lalu, ikutlah bersama kami dan menjadi seorang ibu bagiku.”

     Aku beranjak dari tempatku. Aku menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Apa yang harus aku katakan. Aku menatap ke arah pria yang sedari tadi duduk diam tak berdaya, dia menatapku tanpa arti. Ada apa ini? Aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya.

     Aku menghadap gadis yang selama ini aku temani dengan perasaan bimbang dan ragu. Kemudian, aku mengungkapkan sebuah kata yang kutakut menyinggung perasaan gadis tak berdosa itu.

     “Maaf.”

***

     Pagi hari aku sudah menyiapkan barang-barangku. Tas dan koper sudah siap. Ini saatnya aku pergi, memulai hidup baru.

     “Semua sudah siap?”

     “Siap!”

     Seorang pria mengulurkan tangannya kepadaku, lalu aku pun membalasnya. “Kemarilah, aku berjanji akan menjagamu dan Ira.” Ucapnya.

     “Aku percaya sepenuhnya padamu.” aku membalasnya dengan senyuman.

     Kring... Kring... Kring...

     “Ayah, Ibu, cepatlah atau kita akan ketinggalan keretanya.”

     “Sebentar, Sayang. Ayo kita berangkat.” ajak pria itu kepadaku.

     “Ayo.”

     Inilah akhir kisah hidupku. Berawal dari sebuah perjalanan yang menyelamatkan dan membantu banyak orang. Berakhir dengan kasih sayang sebuah keluarga kecil yang bahagia.

     Aku merasa bersyukur pada Tuhan atas semua karunia yang telah diberikan-Nya. Mungkin ini sudah takdirku untuk hidup bersama Ira dan Ayahnya. Sekali lagi aku bahagia dan bersyukur.

Mortal World

In this world that is increasingly unpredictable, gray, and competition is so fierce, we are required to face it all. A tough test of wealth...