Suka Dibalik Duka
Duarrr!!! Suara gemuruh ombak merah berlomba menyapu daratan
Lampung terdengar dari radius 160 km. Gumpalan awan hitam mulai memenuhi
seluruh lapisan langit. Matahari sudah tak lagi tampak. Langit penuh dengan
bunga api bak bala yang diturunkan Tuhan. Kegelapan menyelimuti bumi dan gempa
yang tiada henti. Gelombang tsunami menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatera
hampir 40 km jauhnya.
Hujan abu
panas mengguyur sekitar wilayah Krakatau. Ketinggian kabut asap diperkirakan
mencapai 80 km. Energi yang dilepaskan setara dengan 200 megaton TNT. Tak
satupun selamat dari total 3000 orang penduduk Pulau Sebesi yang berjarak 13 km
dari krakatau.
Letusan
besar terakhir terdengar hingga 3000 mil jauhnya. Berkali-kali gunung itu
mengutarakan amarahnya. Namun, amarah terakhir ini menyebabkan 20 juta ton
sulfur dilepaskan ke atmosfer yang menyebabkan suhu di seluruh dunia turun
dengan rata-rata 1,2 C selama 5 tahun. Gunung itu telah menghancurkan
Entahlah,
sudah berapa ratus ribu orang yang kehilangan nyawa, berapa juta orang yang
terluka, dan berapa miliar tetes air mata yang berduka atas kejadian itu. Luka
dalam itu terbesit dalam pikiranku. Bagaimana cara mereka yang tersisa saat ini
bertahan hidup? Akses jalan sudah tertutup total. Berbagai bantuan datang dari
seluruh sudut belahan dunia.
Kini para
pengungsi ditempatkan di suatu posko di Provinsi Lampung. Aku dan tim medis
lainnya tengah menyiapkan berbagai perbekalan untuk para korban yang selamat
atas kejadian mengerikan tersebut. Terlihat tim medis sibuk menangani para
korban dengan berbagai kondisi yang memprihatinkan. Perhatianku teralihkan
dengan sosok anak kecil yang berlari kesana kemari membawa segelas air.
“Ini
untukmu, minumlah.” ucap gadis itu menyodorkan segelas air kepada seseorang
yang umurnya lebih tua darinya. Dia tampak begitu senang, tak ada perasaan
sendu dalam kedua mata itu. Dia menoleh dan menatap tajam ke arahku, lantas
tersenyum dan menghampiriku.
“Apa ada
yang bisa aku bantu, Nona?” tanyanya menawarkan bantuan.
“Tidak,
Tuan Putri.” jawabku membuatnya tertunduk sedih. “Tapi jika kau bersedia,
maukah membantuku membagikan makanan kepada orang-orang di sini?”
Seketika
raut wajahnya berubah, “Tentu saja, ayo.” dia menggandeng dan menarik tanganku
dengan lembut. Aku membawa kardus berisi makanan dan dia yang memberikan kepada
para pengungsi. Langkah gadis polos itu terhenti ketika melihat seorang batita
yang bermain penuh kebahagiaan dengan ayahnya.
“Ada apa,
Gadis Manis?”
“Tidak, aku
hanya teringat pada ayahku yang sekarang entah ada di mana. Ibuku sudah
meninggalkan aku dan ayah serta memilih hidup bersama lelaki lain.”
Aku terkejut
mendengar jawaban gadis belia itu, bagaimana ia bisa mngetahui permasalahan
yang terjadi antara kedua orang tuanya?
“Tapi
tenang saja, aku sudah terbiasa tanpa ibu, dia memang bukan ibu yang baik.
Walaupun banyak orang berkata tak ada ibu yang tak sayang putrinya. Sudahlah,
aku tak ingin membahasnya lagi. Mari kita lanjutkan pekerjaan ini.” tambahnya
mengakhiri pembicaraan tentang kondisi keluarganya.
“Istirahatlah, kau tampak lelah. Biar aku dan teman-temanku saja yang
melanjutkan.”
“Baiklah.
Panggil saja aku di sudut taman itu jika Nona perlu. Sampai jumpa.”
“Tunggu!”
aku menarik tangannya dan melihat nama dari kertas yang digelangkan di
tangannya. “Zahira Fallista, 9 tahun. Nama yang indah.”
***
“Tolong,
Tolong!!!” suara itu muncul dari balik tenda yang saat itu berada tak jauh dari
tempatku. Aku mencoba mencari sumber suara tersebut.
“Siapa di
sana? Apa ada yang membutuhkan pertolongan?” Hening. Aku mencari kesana kemari.
“Tolong!!!”
suara itu terdengar kembali dan tertuju pada sebuah bangunan yang sudah runtuh.
Jangan-jangan, suara itu ada di balik
reruntuhan gedung itu, pikirku dalam hati.
“Halo, Tuan.
Dimana Anda?” aku mencoba menyingkiran beberapa puing-puing bangunan itu.
“Tolong. Di
bawah sini, Nona.”
Ya Tuhan. Dia ada di balik reruntuhan
bangunan besar itu.
“Tunggu
sebentar, Tuan. Aku akan segera kembali dengan membawa bantuan.” Tanpa berpikir
lama dan panjang, aku langsung memanggil beberapa orang untuk menyelamatkan
orang itu.
Satu persatu
bongkahan besar itu mulai diangkat dan dipindahkan. Tubuh orang itu sudah mulai
terlihat sedikit demi sedikit. Dan akhirnya orang tersebut berhasil
diselamatkan walau dengan kondisi yang tidak memungkinkan.
“Segera bawa
dia ke rumah sakit sementara, dia akan mendapat beberapa bantuan medis di
sana.” ucapku mengarahkan.
Peralatan
medis mulai disiapkan untuk menangani pasien tersebut. Luka-luka yang ada di
tubuh pria itu mulai dibersihkan dan ditangani dengan cepat. Entah sudah berapa
lama dia mendekam di bawah reruntuhan. Tubuhnya sangat lemah dan tidak berdaya.
Tuhan sungguh baik menyelamatkan pria malang itu.
“Mili,
tolong jaga dia sebentar. Aku akan segera kembali dengan beberapa konsumsi
untuknya. Lihatlah, dia belum makan atau minum selama beberapa hari.” ucap
Nisa, teman seperjuangan.
Aku
memandang pria itu, mirip dengan seseorang yang baru-baru ini aku kenal. Kutebak
dia sudah berumur kepala 3. Tunggu sebentar,
dia benar-benar mirip dengan seseorang, Siapa ya? aku berpikir dengan keras
hingga kerongkonganku terasa kering. Aku beranjak untuk mengambil segelas air. Namun
tiba-tiba, ada tangan yang menghentikan langkahku. Aku terkejut tidak karuan.
Ternyata pria itu telah sadar.
“Terima kasih
telah menolongku.” kata pria itu dengan mata berkaca-kaca.
“Tidak perlu
berterima kasih, itu sudah menjadi tugas saya,”
“Jika tidak
ada Anda, entah bagaimana hidup saya nanti.”
“Berterima kasihlah
kepada Tuhan, karena Dia yang sudah memberi petunjuk kepada saya.”
Tak lama kemudian,
Nisa datang dengan membawa semangkuk sop dan segelas teh hangat.
“Makanlah dahulu,
kau pasti sangat lapar.” aku meyodorkan semangkuk sop. Namun, sepertinya dia
masih terlalu lemah untuk makan dengan tangannya sendiri. Terlihat tangannya
bergemetar dan beberapa sop tumpah.
“Biarkan
saya membantu Anda.” Sesuap demi sesuap nasi ditelannya dengan rasa syukur.
Tiba-tiba sebuah bayangan terpantul ke dinding.
“Tunggu
sebentar.” aku melangkahkan kaki ke luar ruangan. Tampak seseorang tengah
menungguku.
“Hai. Ada
yang bisa kubantu, Gadis Kecil?”
“Aku menemukan
gelang. ini diberikan ayah saat aku ulang tahun yang ke-7, aku menemukan ini di
sekitar sini. Apa ini artinya ayahku masih hidup?” gelang bewarna merah muda
dan berbentuk kotak itu diperlihatkannya padaku. Terukir nama Zahira di sana,
gelang yang cantik.
“Aku akan
selalu berdoa atas keselamatan ayahmu. Dimana pun dan kapan pun dia berada.
Untuk sementara ini, kau tidak perlu khawatir. Aku akan menjagamu dengan baik.
Mengerti?” aku memasangkan gelang itu di tangannya. Dia lantas memelukku dengan
perasaan rindu. Bukan kepadaku, tetapi ayahnya.
“Ayah akan
sangat senang mendengar hal ini.”
“Sudahlah
tidak perlu bersedih. Kita doakan saja, semoga ayahmu baik-baik saja. Bagaimana
jika setelah ini kita mencari ayah bersama-sama?”
“Janji?”
“Janji!”
***
“Iraaa!!!”
teriak pria itu membuat panik seluruh isi ruangan. Aku berusaha membangunkannya,
tapi ia tak kunjung bangun.
“Sadarlah,
Pak. Sadarlah.”
“Iraaa,
Nona. Anak saya, tolong selamatkan dia. Oh tidak, saya harus mencari anak saya.”
“Tenang, Pak.
Saya akan membantu mencarikan anak Anda. Jangan khawatir.”
Jam
menunjukkan pukul 1 siang. Aku harus pergi atau aku akan menyakiti hati seorang
anak yang tidak berdosa. Baru saja kupikirkan, dia sudah datang menemuiku.
“Apa Anda
sudah siap?” tanya dia dengan sifat polosnya.
“Siap, Nisa
gantikan aku sebentar. Aku harus pergi sekarang.”
“Ayo, cepatlah.”
dia menarik tanganku. Dengan tidak sengaja, pria itu melihat gelang yang ada di
tangan Zahira. Lantas dia memanggil-manggil. Namun, aku dan Zahira tidak mendengar
dan terus melanjutkan perjalanan.
Sudah tiga
jam berlalu, namun ayahnya tak kunjung ditemukan. Aku melihat semangatnya pudar.
Dia putus asa.
“Hei, sudahlah.
Jangan bersedih, kita bisa mencari lagi besok pagi.”
“Aku bahkan belum
mengucapkan selamat tinggal.”
“Hari mulai
malam, ayo kita kembali.”
Hari
berganti hari, tak terasa sudah dua minggu aku tinggal di posko pengungsian
ini. Aku semakin dekat dengan Zahira. Hampir setiap malam aku tidur dengannya. Seperitnya
aku harus kembali, pria yang dirawat itu juga sudah membaik keadaannya.
Apa yang harus aku katakan pada gadis kecil
itu? Sudah hampir dua jam aku memikirkan bagaimana cara harus meninggalkannya.
Aku sendiri tidak tega melihat dia. Aku harus segera bersiap-siap.
“Nona mau kemana?”
terdengar suara lembut itu di balik pintu, “Apa Nona ingin pergi? Aku masih
belum menemukan ayahku.”
“Mili, ada
yang ingin menemuimu.” ucap Nisa kepadaku.
“Suruh saja
dia masuk.” jawabku singkat.
“Hei, tolong
janganlah bersedih. Aku tak ingin membuatmu menangis.” tambahku kepada gadis
belia itu.
“Lalu siapa
yang akan menjagaku?”
Tanpa disadari,
pria yang ingin menemuiku sudah berdiri di depan pintu. Dia mendengar percakapanku
dengan Zahira. Dia menangis melihat gelang yang ada di tangan Zahira. Ia ingin
mengatakan sesuatu, namun air mata menghentikannya.
“Ira” ucapnya
terdengar lirih.
“Ira...” kakinya
sudah mulai melemas hingga ia terjatuh. Aku dan Ira menoleh ke pria itu. Saat aku
hendak menolongnya, Zahira menahan tanganku. Lantas aku menoleh ke arahnya, dia
melihatku dengan berkaca-kaca. Ia menangis. Aku tidak tahu apa yang telah
terjadi.
“Ada apa?
Mengapa kalian menangis?” tanyaku bingung.
“Nona, dia
adalah ayahku.” jawab Zahira.
Aku terkejut,
sudah beberapa hari ini aku merawatnya. Tapi mengapa aku tidak menyadari hal
ini. Tunggu, mereka memiliki kemiripan. Mata itu. Ya, mata itu. Sama dengan
pria yang waktu itu aku tolong.
Zahira
berjalan perlahan ke arahnya, dadanya penuh sesak. Ia tak sunggup berkata
apa-apa. Gadis itu mengulurkan tangannya, berniat membantu pria yang terjatuh
itu. Pria itu menarik tangannya dan membawa Zahira ke pelukannya.
Sungguh
suasana penuh haru. Tak terasa air mata juga sudah membanjiri pipku. Kenapa
selama ini aku buta dan tidak sadar? Apa yang kulakukan?
“Ira, ayah akan
segera membawamu dari sini. Kita akan pergi ke rumah nenek di Surabaya sekarang
juga.” Ira tampak senang dengan ajakan dari ayahnya yang selama ini ia cari.
“Tunggu
sebentar, Ayah.” Ira membalikkan badan dan berjalan ke arahku.
“Nona Mili,
terima kasih telah merawat dan menjagaku selama ini layaknya seorang ibu. Untuk
itu, boleh aku meminta satu hal lagi darimu?”
“Tentu saja.
Apa yang kau minta, Sayang?”
“Hmmm...
bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan Ibu?” aku terkejut setengah mati. Bibirku
kaku tak kuasa untuk mengucapkan kata-kata. Tanpa disadari, aku menganggukkan kepala.
“Lalu, ikutlah
bersama kami dan menjadi seorang ibu bagiku.”
Aku beranjak
dari tempatku. Aku menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Apa yang harus aku katakan.
Aku menatap ke arah pria yang sedari tadi duduk diam tak berdaya, dia menatapku
tanpa arti. Ada apa ini? Aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya.
Aku
menghadap gadis yang selama ini aku temani dengan perasaan bimbang dan ragu.
Kemudian, aku mengungkapkan sebuah kata yang kutakut menyinggung perasaan gadis
tak berdosa itu.
“Maaf.”
***
Pagi hari aku
sudah menyiapkan barang-barangku. Tas dan koper sudah siap. Ini saatnya aku
pergi, memulai hidup baru.
“Semua sudah
siap?”
“Siap!”
Seorang pria
mengulurkan tangannya kepadaku, lalu aku pun membalasnya. “Kemarilah, aku
berjanji akan menjagamu dan Ira.” Ucapnya.
“Aku percaya
sepenuhnya padamu.” aku membalasnya dengan senyuman.
Kring...
Kring... Kring...
“Ayah, Ibu,
cepatlah atau kita akan ketinggalan keretanya.”
“Sebentar,
Sayang. Ayo kita berangkat.” ajak pria itu kepadaku.
“Ayo.”
Inilah akhir
kisah hidupku. Berawal dari sebuah perjalanan yang menyelamatkan dan membantu
banyak orang. Berakhir dengan kasih sayang sebuah keluarga kecil yang bahagia.
Aku merasa
bersyukur pada Tuhan atas semua karunia yang telah diberikan-Nya. Mungkin ini
sudah takdirku untuk hidup bersama Ira dan Ayahnya. Sekali lagi aku bahagia dan
bersyukur.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah komentar di artikel ini, jangan lupa berkunjung ke artikel lainnya ya ~~~