Sunday, August 15, 2021

SUKA DIBALIK DUKA

 

Suka Dibalik Duka

     Duarrr!!! Suara gemuruh ombak merah berlomba menyapu daratan Lampung terdengar dari radius 160 km. Gumpalan awan hitam mulai memenuhi seluruh lapisan langit. Matahari sudah tak lagi tampak. Langit penuh dengan bunga api bak bala yang diturunkan Tuhan. Kegelapan menyelimuti bumi dan gempa yang tiada henti. Gelombang tsunami menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatera hampir 40 km jauhnya.

     Hujan abu panas mengguyur sekitar wilayah Krakatau. Ketinggian kabut asap diperkirakan mencapai 80 km. Energi yang dilepaskan setara dengan 200 megaton TNT. Tak satupun selamat dari total 3000 orang penduduk Pulau Sebesi yang berjarak 13 km dari krakatau.

     Letusan besar terakhir terdengar hingga 3000 mil jauhnya. Berkali-kali gunung itu mengutarakan amarahnya. Namun, amarah terakhir ini menyebabkan 20 juta ton sulfur dilepaskan ke atmosfer yang menyebabkan suhu di seluruh dunia turun dengan rata-rata 1,2 C selama 5 tahun. Gunung itu telah menghancurkan  bagian tubuhnya.

     Entahlah, sudah berapa ratus ribu orang yang kehilangan nyawa, berapa juta orang yang terluka, dan berapa miliar tetes air mata yang berduka atas kejadian itu. Luka dalam itu terbesit dalam pikiranku. Bagaimana cara mereka yang tersisa saat ini bertahan hidup? Akses jalan sudah tertutup total. Berbagai bantuan datang dari seluruh sudut belahan dunia.

     Kini para pengungsi ditempatkan di suatu posko di Provinsi Lampung. Aku dan tim medis lainnya tengah menyiapkan berbagai perbekalan untuk para korban yang selamat atas kejadian mengerikan tersebut. Terlihat tim medis sibuk menangani para korban dengan berbagai kondisi yang memprihatinkan. Perhatianku teralihkan dengan sosok anak kecil yang berlari kesana kemari membawa segelas air.

     “Ini untukmu, minumlah.” ucap gadis itu menyodorkan segelas air kepada seseorang yang umurnya lebih tua darinya. Dia tampak begitu senang, tak ada perasaan sendu dalam kedua mata itu. Dia menoleh dan menatap tajam ke arahku, lantas tersenyum dan menghampiriku.

     “Apa ada yang bisa aku bantu, Nona?” tanyanya menawarkan bantuan.

     “Tidak, Tuan Putri.” jawabku membuatnya tertunduk sedih. “Tapi jika kau bersedia, maukah membantuku membagikan makanan kepada orang-orang di sini?”

     Seketika raut wajahnya berubah, “Tentu saja, ayo.” dia menggandeng dan menarik tanganku dengan lembut. Aku membawa kardus berisi makanan dan dia yang memberikan kepada para pengungsi. Langkah gadis polos itu terhenti ketika melihat seorang batita yang bermain penuh kebahagiaan dengan ayahnya.

     “Ada apa, Gadis Manis?”

     “Tidak, aku hanya teringat pada ayahku yang sekarang entah ada di mana. Ibuku sudah meninggalkan aku dan ayah serta memilih hidup bersama lelaki lain.”

     Aku terkejut mendengar jawaban gadis belia itu, bagaimana ia bisa mngetahui permasalahan yang terjadi antara kedua orang tuanya?

     “Tapi tenang saja, aku sudah terbiasa tanpa ibu, dia memang bukan ibu yang baik. Walaupun banyak orang berkata tak ada ibu yang tak sayang putrinya. Sudahlah, aku tak ingin membahasnya lagi. Mari kita lanjutkan pekerjaan ini.” tambahnya mengakhiri pembicaraan tentang kondisi keluarganya.

     “Istirahatlah, kau tampak lelah. Biar aku dan teman-temanku saja yang melanjutkan.”

     “Baiklah. Panggil saja aku di sudut taman itu jika Nona perlu. Sampai jumpa.”

     “Tunggu!” aku menarik tangannya dan melihat nama dari kertas yang digelangkan di tangannya. “Zahira Fallista, 9 tahun. Nama yang indah.”

***

     “Tolong, Tolong!!!” suara itu muncul dari balik tenda yang saat itu berada tak jauh dari tempatku. Aku mencoba mencari sumber suara tersebut.

     “Siapa di sana? Apa ada yang membutuhkan pertolongan?” Hening. Aku mencari kesana kemari.

     “Tolong!!!” suara itu terdengar kembali dan tertuju pada sebuah bangunan yang sudah runtuh. Jangan-jangan, suara itu ada di balik reruntuhan gedung itu, pikirku dalam hati.

     “Halo, Tuan. Dimana Anda?” aku mencoba menyingkiran beberapa puing-puing bangunan itu.

     “Tolong. Di bawah sini, Nona.”

     Ya Tuhan. Dia ada di balik reruntuhan bangunan besar itu.

     “Tunggu sebentar, Tuan. Aku akan segera kembali dengan membawa bantuan.” Tanpa berpikir lama dan panjang, aku langsung memanggil beberapa orang untuk menyelamatkan orang itu.

     Satu persatu bongkahan besar itu mulai diangkat dan dipindahkan. Tubuh orang itu sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit. Dan akhirnya orang tersebut berhasil diselamatkan walau dengan kondisi yang tidak memungkinkan.

     “Segera bawa dia ke rumah sakit sementara, dia akan mendapat beberapa bantuan medis di sana.” ucapku mengarahkan.

     Peralatan medis mulai disiapkan untuk menangani pasien tersebut. Luka-luka yang ada di tubuh pria itu mulai dibersihkan dan ditangani dengan cepat. Entah sudah berapa lama dia mendekam di bawah reruntuhan. Tubuhnya sangat lemah dan tidak berdaya. Tuhan sungguh baik menyelamatkan pria malang itu.

     “Mili, tolong jaga dia sebentar. Aku akan segera kembali dengan beberapa konsumsi untuknya. Lihatlah, dia belum makan atau minum selama beberapa hari.” ucap Nisa, teman seperjuangan.

     Aku memandang pria itu, mirip dengan seseorang yang baru-baru ini aku kenal. Kutebak dia sudah berumur kepala 3. Tunggu sebentar, dia benar-benar mirip dengan seseorang, Siapa ya? aku berpikir dengan keras hingga kerongkonganku terasa kering. Aku beranjak untuk mengambil segelas air. Namun tiba-tiba, ada tangan yang menghentikan langkahku. Aku terkejut tidak karuan. Ternyata pria itu telah sadar.

     “Terima kasih telah menolongku.” kata pria itu dengan mata berkaca-kaca.

     “Tidak perlu berterima kasih, itu sudah menjadi tugas saya,”

     “Jika tidak ada Anda, entah bagaimana hidup saya nanti.”

     “Berterima kasihlah kepada Tuhan, karena Dia yang sudah memberi petunjuk kepada saya.”

     Tak lama kemudian, Nisa datang dengan membawa semangkuk sop dan segelas teh hangat.

     “Makanlah dahulu, kau pasti sangat lapar.” aku meyodorkan semangkuk sop. Namun, sepertinya dia masih terlalu lemah untuk makan dengan tangannya sendiri. Terlihat tangannya bergemetar dan beberapa sop tumpah.

     “Biarkan saya membantu Anda.” Sesuap demi sesuap nasi ditelannya dengan rasa syukur. Tiba-tiba sebuah bayangan terpantul ke dinding.

     “Tunggu sebentar.” aku melangkahkan kaki ke luar ruangan. Tampak seseorang tengah menungguku.

     “Hai. Ada yang bisa kubantu, Gadis Kecil?”

     “Aku menemukan gelang. ini diberikan ayah saat aku ulang tahun yang ke-7, aku menemukan ini di sekitar sini. Apa ini artinya ayahku masih hidup?” gelang bewarna merah muda dan berbentuk kotak itu diperlihatkannya padaku. Terukir nama Zahira di sana, gelang yang cantik.

     “Aku akan selalu berdoa atas keselamatan ayahmu. Dimana pun dan kapan pun dia berada. Untuk sementara ini, kau tidak perlu khawatir. Aku akan menjagamu dengan baik. Mengerti?” aku memasangkan gelang itu di tangannya. Dia lantas memelukku dengan perasaan rindu. Bukan kepadaku, tetapi ayahnya.

     “Ayah akan sangat senang mendengar hal ini.”

     “Sudahlah tidak perlu bersedih. Kita doakan saja, semoga ayahmu baik-baik saja. Bagaimana jika setelah ini kita mencari ayah bersama-sama?”

     “Janji?”

     “Janji!”

***

     “Iraaa!!!” teriak pria itu membuat panik seluruh isi ruangan. Aku berusaha membangunkannya, tapi ia tak kunjung bangun.

     “Sadarlah, Pak. Sadarlah.”

     “Iraaa, Nona. Anak saya, tolong selamatkan dia. Oh tidak, saya harus mencari anak saya.”

     “Tenang, Pak. Saya akan membantu mencarikan anak Anda. Jangan khawatir.”

     Jam menunjukkan pukul 1 siang. Aku harus pergi atau aku akan menyakiti hati seorang anak yang tidak berdosa. Baru saja kupikirkan, dia sudah datang menemuiku.

     “Apa Anda sudah siap?” tanya dia dengan sifat polosnya.

     “Siap, Nisa gantikan aku sebentar. Aku harus pergi sekarang.”

     “Ayo, cepatlah.” dia menarik tanganku. Dengan tidak sengaja, pria itu melihat gelang yang ada di tangan Zahira. Lantas dia memanggil-manggil. Namun, aku dan Zahira tidak mendengar dan terus melanjutkan perjalanan.

     Sudah tiga jam berlalu, namun ayahnya tak kunjung ditemukan. Aku melihat semangatnya pudar. Dia putus asa.

     “Hei, sudahlah. Jangan bersedih, kita bisa mencari lagi besok pagi.”

     “Aku bahkan belum mengucapkan selamat tinggal.”

     “Hari mulai malam, ayo kita kembali.”

     Hari berganti hari, tak terasa sudah dua minggu aku tinggal di posko pengungsian ini. Aku semakin dekat dengan Zahira. Hampir setiap malam aku tidur dengannya. Seperitnya aku harus kembali, pria yang dirawat itu juga sudah membaik keadaannya.

     Apa yang harus aku katakan pada gadis kecil itu? Sudah hampir dua jam aku memikirkan bagaimana cara harus meninggalkannya. Aku sendiri tidak tega melihat dia. Aku harus segera bersiap-siap.

     “Nona mau kemana?” terdengar suara lembut itu di balik pintu, “Apa Nona ingin pergi? Aku masih belum menemukan ayahku.”

     “Mili, ada yang ingin menemuimu.” ucap Nisa kepadaku.

     “Suruh saja dia masuk.” jawabku singkat.

     “Hei, tolong janganlah bersedih. Aku tak ingin membuatmu menangis.” tambahku kepada gadis belia itu.

     “Lalu siapa yang akan menjagaku?”

     Tanpa disadari, pria yang ingin menemuiku sudah berdiri di depan pintu. Dia mendengar percakapanku dengan Zahira. Dia menangis melihat gelang yang ada di tangan Zahira. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun air mata menghentikannya.

     “Ira” ucapnya terdengar lirih.

     “Ira...” kakinya sudah mulai melemas hingga ia terjatuh. Aku dan Ira menoleh ke pria itu. Saat aku hendak menolongnya, Zahira menahan tanganku. Lantas aku menoleh ke arahnya, dia melihatku dengan berkaca-kaca. Ia menangis. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi.

     “Ada apa? Mengapa kalian menangis?” tanyaku bingung.

     “Nona, dia adalah ayahku.” jawab Zahira.

     Aku terkejut, sudah beberapa hari ini aku merawatnya. Tapi mengapa aku tidak menyadari hal ini. Tunggu, mereka memiliki kemiripan. Mata itu. Ya, mata itu. Sama dengan pria yang waktu itu aku tolong.

     Zahira berjalan perlahan ke arahnya, dadanya penuh sesak. Ia tak sunggup berkata apa-apa. Gadis itu mengulurkan tangannya, berniat membantu pria yang terjatuh itu. Pria itu menarik tangannya dan membawa Zahira ke pelukannya.

     Sungguh suasana penuh haru. Tak terasa air mata juga sudah membanjiri pipku. Kenapa selama ini aku buta dan tidak sadar? Apa yang kulakukan?

     “Ira, ayah akan segera membawamu dari sini. Kita akan pergi ke rumah nenek di Surabaya sekarang juga.” Ira tampak senang dengan ajakan dari ayahnya yang selama ini ia cari.

     “Tunggu sebentar, Ayah.” Ira membalikkan badan dan berjalan ke arahku.

     “Nona Mili, terima kasih telah merawat dan menjagaku selama ini layaknya seorang ibu. Untuk itu, boleh aku meminta satu hal lagi darimu?”

     “Tentu saja. Apa yang kau minta, Sayang?”

     “Hmmm... bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan Ibu?” aku terkejut setengah mati. Bibirku kaku tak kuasa untuk mengucapkan kata-kata. Tanpa disadari, aku menganggukkan kepala.

     “Lalu, ikutlah bersama kami dan menjadi seorang ibu bagiku.”

     Aku beranjak dari tempatku. Aku menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Apa yang harus aku katakan. Aku menatap ke arah pria yang sedari tadi duduk diam tak berdaya, dia menatapku tanpa arti. Ada apa ini? Aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya.

     Aku menghadap gadis yang selama ini aku temani dengan perasaan bimbang dan ragu. Kemudian, aku mengungkapkan sebuah kata yang kutakut menyinggung perasaan gadis tak berdosa itu.

     “Maaf.”

***

     Pagi hari aku sudah menyiapkan barang-barangku. Tas dan koper sudah siap. Ini saatnya aku pergi, memulai hidup baru.

     “Semua sudah siap?”

     “Siap!”

     Seorang pria mengulurkan tangannya kepadaku, lalu aku pun membalasnya. “Kemarilah, aku berjanji akan menjagamu dan Ira.” Ucapnya.

     “Aku percaya sepenuhnya padamu.” aku membalasnya dengan senyuman.

     Kring... Kring... Kring...

     “Ayah, Ibu, cepatlah atau kita akan ketinggalan keretanya.”

     “Sebentar, Sayang. Ayo kita berangkat.” ajak pria itu kepadaku.

     “Ayo.”

     Inilah akhir kisah hidupku. Berawal dari sebuah perjalanan yang menyelamatkan dan membantu banyak orang. Berakhir dengan kasih sayang sebuah keluarga kecil yang bahagia.

     Aku merasa bersyukur pada Tuhan atas semua karunia yang telah diberikan-Nya. Mungkin ini sudah takdirku untuk hidup bersama Ira dan Ayahnya. Sekali lagi aku bahagia dan bersyukur.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah komentar di artikel ini, jangan lupa berkunjung ke artikel lainnya ya ~~~

Mortal World

In this world that is increasingly unpredictable, gray, and competition is so fierce, we are required to face it all. A tough test of wealth...