Derita
Sebelum Merdeka
Saat itu aku berumur 6 tahun. Aku sedang
asik bermain dengan boneka kesayanganku di kamar. Pagi itu suasana begitu
sunyi, tidak ada suara yang kudengar dari luar. Lalu aku putuskan keluar kamar
untuk melihat keadaan di rumahku. Saat aku membuka pintu, tiba-tiba saja ibu
menyeretku keluar dari kamar menuju ruang bawah tanah. Ibu terlihat begitu
tergesa-gesa dan ketakutan. Aku yang saat itu tengah kebingungan melihat
tingkah ibu, hanya bisa berdiam diri sambil berjalan menuju ke ruang bawah
tanah.
Sampainya di ruang bawah tanah, ibu
memelukku dengan erat. “Velan, ayah dan ibu sangat menyayangimu.” ucap ibu
kepadaku sambil menangis memelukku.
“Coba katakan padaku Ibu, apa yang telah
terjadi ?” tanyaku penasaran kepada ibu.
“Velan, tunggu disini sampai ibu atau ayah
menjemputmu ya, Nak !”
“Tidak mau, disini terlalu gelap Bu, aku
takut sekali.”
“Sayang, sekali saja coba kamu dengarkan ibu.
Tidak akan ada yang terjadi padamu, ibu tidak akan membiarkanmu terluka
sedikitpun.” ucap ibu sambil berlalu meninggalkanku.
Lima belas menit sudah berlalu, tetapi ibu
atau ayah tak kunjung menjemputku. Aku memberanikan diri keluar dari ruang
bawah tanah menuju ke teras rumah untuk mengetahui apa yang telah terjadi
sebenarnya. Aku mendengar suara gaduh yang sepertinya itu adalah suara yang aku
takutkan. Yah memang benar, perang sudah dimulai. Perang antara warga kota
melawan Kerajaan Madagahskar. Suara gesekan pedang terdengar begitu
menyesakkan. Darah yang berceceran dimana-mana bertanda bahwa sudah banyak
orang yang menjadi korban dalam perang itu. Ya
Tuhan, tolong selamatkanlah ayah dan ibuku dimanapun mereka berada, aku sangat
menyayanginya Tuhan, aku tidak mau kehilangan mereka, doaku dalam hati.
Itulah pengalamanku delapan tahun yang
lalu. Sekarang perang telah berakhir, kenangan buruk di masa lalu masih
menghantuiku. Setiap malam aku selalu bermimpi tentang peperangan yang terjadi
di masa itu yang membuatku kehilangan kedua orang. Semenjak kejadian itu, aku
tinggal bersama bibiku di Makassar.
“Vel, saat ini kan kamu sedang liburan
sekolah, untuk mengisi liburanmu kamu berencana mau pergi kemana ?” tanya Kak
Meena yang sedang memasak di dapur. Kakak, merupakan sapaan akrab kepada
bibiku.
“Kalau boleh, aku pengen ke rumah Kak.”
“Maksudnya ? Kamu pengen ke rumah kamu
yang dulu ?”
“Iya Kak Meena, aku ingin kesana untuk
melihat keadaan kota itu sekarang.”
“Apa kamu yakin, Vel ?”
“Iya Kak, aku yakin sekali. Kakak mau kan
anterin aku ke sana ?”
“Kalau antar saja sih kakak bisa, tapi
maaf kakak gak bisa nemenin kamu soalnya kakak ada ujian praktek.”
“Baiklah, aku bisa ke sana sendiri. Besok
kita berangkat jam 6 pagi aja Kak.”
“Terserah kamu aja Vel.” jawab Kak Meena
menyetujui permintaanku itu.
Hari yang ditunggu sudah datang juga. Aku
berangkat bersama Kak Meena pukul 6 pagi sesuai rencana. Sepanjang perjalanan
aku mengingat tentang masa lalu itu, bagaimana ayahku melawan para prajurit itu
dan bagaimana ibuku membantu mengobati luka para korban. Semua itu masih
teringat jelas dipikiranku.
“Velan, kita udah sampai.” kata Kak Meena
hingga membuyarkan lamunanku. “Velania, hati-hati ya.”
“Baiklah Kak, semoga sukses ujian
prakteknya.” ucapku seraya melambaikan tangan kepada Kak Meena.
Akhirnya aku tiba di tempat liburanku,
tempat ini begitu banyak yang berubah. Dulu tempat ini begitu ramai, tapi
sekarang sudah tak berpenghuni. Aku melihat sebuah bangunan yang hampir roboh,
yah itu adalah rumahku yang dulu. Dinding-dinding dan atap yang sudah mulai
rapuh, sisa makanan dan obat-obatan berserakan dimana-mana. Aku mulai masuk ke
kamarku, boneka kesayanganku masih ada di sana. Aku memeluk boneka beruang itu,
aku masih ingat bagaimana ibu memberi boneka ini sebagai hadiah ulang tahunku
yang ke-4 tahun.
Kemudian aku pergi keluar rumah. Saat aku
melangkah keluar, tak sengaja kakiku menginjak selembar kertas yang sudah
robek. Vela, kamu tidak usah khawatir
dengan ibu. Ibu baik-baik saja dan ibu tidak akan meninggalkanmu. Kamu harus
memiliki keberanian dan hati yang mulia, karena itu akan mengantarkanmu kepada
kebaikan. Tak terasa air mataku mulai menetes. Lalu, tiba-tiba saja seorang
lelaki menarikku untuk bersembunyi.
Dari postur tubuhnya, sepertinya aku
mengenalinya. Dia adalah Roy, teman kecilku dulu. “Roy, aku kangen banget sama
kamu.” ucapku tak percaya bisa bertemu dia lagi. “Ngomong-ngomong, ada urusan
apa kamu ke sini?” tambahku.
“Aku ingin menyelamatkan orang-orang di
sini.”
“Menyelamatkan orang-orang di sini ?
Maksudnya ?”
“Hadduh … Ternyata kamu ini masih sama
seperti dulu. Maksud aku, orang-orang di sini yang kita pikir udah meninggal
itu ternyata masih hidup. Tetapi musuh membuatnya seakan-akan sudah mati.”
“Apa ? Bagaimana kamu bisa yakin Roy ?”
“Aku melihat salah seorang prajurit berkeliaran
di daerah sini. Aku mengikutinya dari belakang, ternyata dia masuk ke sebuah
bangunan. Lalu dia membuka pintu rahasia yang nantinya akan menembus ke ruang
bawah tanah.”
“Kita harus menyelamatkan mereka
bagaimanapun caranya. Aku tidak akan bisa tahan jika orang tuaku harus
mengalami penderitaan ini. Roy, sepertinya kita harus bekerja sama.”
Kita mulai menyusun rencana untuk
membebaskan para tawanan itu. Roy akan menyamar sebagai salah satu dari anggota
musuh dan aku akan mengalihkan perhatian musuh. Kita akan memulai rencana itu
pada waktu malam hari saat mereka sudah mulai terlelap.
Tepat pukul 11 malam aku dan Roy memulai
permainan ini. Aku menggunakan pakaian serba hitam dan membawa tas yang aku
tidak tau telah diisi apa oleh Roy. Dan Roy menggunakan pakaian yang sama
dengan pakaian yang dipakai oleh musuh. Tidak lupa Roy mengambil 3 buah pistol
dari dalam lemari milik prajurit, satu untukku dan dua untuknya.
Aku dan Roy mulai memasuki gedung
tersebut, Roy memasuki pintu rahasia tersebut, lalu berjalan menuruni tangga.
Sesampainya di bawah, Roy mengecek sekeliling. Ternyata, semua musuh berada di
bawah tanah. Lalu bagaimana caraku untuk
menyelamatkan warga kota ? pikirku.
“Roy, apa kamu yakin kita bisa melawan
mereka semua ?”
“Aku yakin sekali kalau kita bisa membalas
perbuatan mereka.”
“Lalu bagaimana rencana kita selanjutnya ?
Kita hanya dua orang saja dan mereka ada banyak.”
“Aku ada ide, aku pergi kesana untuk
membawa mereka ke atas, lalu kamu masuk ke sana dan membebaskan para tawanan
itu. Ayo, kita mulai dan selesaikan permainan ini. Oh ya, di dalam tasmu ada
banyak benda tajam, kamu bisa memberikan itu kepada warga kota itu setelah kamu
membebaskan mereka. Kamu mengerti kan?”
“Ya, aku mengerti.”
Roy mulai berpura-pura menjadi bagian dari
musuh tersebut. Roy mulai mengajak mereka ke atas untuk berpesta merayakan
penderitaan warga kota. Setelah itu, aku mulai masuk ke ruang tahanan Lalu, aku
mengambil satu set kunci di saku celana prajurit tersebut lalu masuk ke sebuah
ruangan. Terdapat banyak sel disana, sekitar 20 sel dan setiap sel diisi 15
orang. Sejenak, aku memperhatikan satu sel. Di dalamnya ada orang tuaku, mereka
terlihat kurus sekali dan pucat.
“Ibu, Ayah!” kataku sambil meneteskan air
mata.
“Velania, putri Ibu.” ucap ibu tak percaya
bisa melihatku lagi di situasi yang seperti ini. Kemudian kami berpelukan yang
dipisahkan oleh logam berkarat itu.
“Tenang Ibu, aku akan membebaskanmu.” lalu
aku mulai memasukkan kunci, akhirnya pintu sel terbuka. Aku mulai membagi dua
kunci tersebut bersama ibu. Dan kita berhasil membebaskan samua orang, aku
mulai membagi benda tajam kepada warga kota untuk siap berperang yang kedua
kalinya.
Pesta berlangsung dengan gembira, sudah
banyak yang minum sampai tidak sadarkan diri. Dan pada saat itulah Roy memberikan
aba-aba untuk mulai berperang. Para warga mulai datang dan membunuh para musuh
tanpa rasa kasihan sedikitpun karena mengingat bagaimana kejamnya musuh
menyiksa mereka dengan pedang yang dipanaskan. Penderitaan itupun berubah
menjadi semangat yang sangat tinggi.
Musuh terkejut akan kedatangan para
tawanan tersebut. Dalam keadaan mabuk musuh tidak bisa berbuat apa-apa selain
merelakan nyawanya. Akhirnya kemerdekaan dapat direbut kembali oleh warga kota
setelah menempuh penderitaan yang begitu menyakitkan.
Lalu aku menghampiri kedua orang tuaku dan
memeluk mereka berdua. Disebrang jalan aku melihat Roy dan keluarganya. Roy
terlihat begitu senang bisa berkumpul bersama orang-orang yang dicintainya
kembali. Tidak hanya Roy, tetapi semua orang juga begitu. Akhirnya, kami menjadi
keluarga kecil yang bahagia kembali. Dan mulai saat ini juga, aku tidak akan
pernah melepaskan genggaman ayah dan ibu dari tanganku. Tidak akan pernah.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah komentar di artikel ini, jangan lupa berkunjung ke artikel lainnya ya ~~~