Sunday, August 1, 2021

DERITA SEBELUM MERDEKA

 

Derita Sebelum Merdeka

     Saat itu aku berumur 6 tahun. Aku sedang asik bermain dengan boneka kesayanganku di kamar. Pagi itu suasana begitu sunyi, tidak ada suara yang kudengar dari luar. Lalu aku putuskan keluar kamar untuk melihat keadaan di rumahku. Saat aku membuka pintu, tiba-tiba saja ibu menyeretku keluar dari kamar menuju ruang bawah tanah. Ibu terlihat begitu tergesa-gesa dan ketakutan. Aku yang saat itu tengah kebingungan melihat tingkah ibu, hanya bisa berdiam diri sambil berjalan menuju ke ruang bawah tanah.

     Sampainya di ruang bawah tanah, ibu memelukku dengan erat. “Velan, ayah dan ibu sangat menyayangimu.” ucap ibu kepadaku sambil menangis memelukku.

     “Coba katakan padaku Ibu, apa yang telah terjadi ?” tanyaku penasaran kepada ibu.

     “Velan, tunggu disini sampai ibu atau ayah menjemputmu ya, Nak !”

     “Tidak mau, disini terlalu gelap Bu, aku takut sekali.”

     “Sayang, sekali saja coba kamu dengarkan ibu. Tidak akan ada yang terjadi padamu, ibu tidak akan membiarkanmu terluka sedikitpun.” ucap ibu sambil berlalu meninggalkanku.

     Lima belas menit sudah berlalu, tetapi ibu atau ayah tak kunjung menjemputku. Aku memberanikan diri keluar dari ruang bawah tanah menuju ke teras rumah untuk mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya. Aku mendengar suara gaduh yang sepertinya itu adalah suara yang aku takutkan. Yah memang benar, perang sudah dimulai. Perang antara warga kota melawan Kerajaan Madagahskar. Suara gesekan pedang terdengar begitu menyesakkan. Darah yang berceceran dimana-mana bertanda bahwa sudah banyak orang yang menjadi korban dalam perang itu. Ya Tuhan, tolong selamatkanlah ayah dan ibuku dimanapun mereka berada, aku sangat menyayanginya Tuhan, aku tidak mau kehilangan mereka, doaku dalam hati.

     Itulah pengalamanku delapan tahun yang lalu. Sekarang perang telah berakhir, kenangan buruk di masa lalu masih menghantuiku. Setiap malam aku selalu bermimpi tentang peperangan yang terjadi di masa itu yang membuatku kehilangan kedua orang. Semenjak kejadian itu, aku tinggal bersama bibiku di Makassar.

     “Vel, saat ini kan kamu sedang liburan sekolah, untuk mengisi liburanmu kamu berencana mau pergi kemana ?” tanya Kak Meena yang sedang memasak di dapur. Kakak, merupakan sapaan akrab kepada bibiku.

     “Kalau boleh, aku pengen ke rumah Kak.”

     “Maksudnya ? Kamu pengen ke rumah kamu yang dulu ?”

     “Iya Kak Meena, aku ingin kesana untuk melihat keadaan kota itu sekarang.”

     “Apa kamu yakin, Vel ?”

     “Iya Kak, aku yakin sekali. Kakak mau kan anterin aku ke sana ?”

     “Kalau antar saja sih kakak bisa, tapi maaf kakak gak bisa nemenin kamu soalnya kakak ada ujian praktek.”

     “Baiklah, aku bisa ke sana sendiri. Besok kita berangkat jam 6 pagi aja Kak.”

     “Terserah kamu aja Vel.” jawab Kak Meena menyetujui permintaanku itu.

     Hari yang ditunggu sudah datang juga. Aku berangkat bersama Kak Meena pukul 6 pagi sesuai rencana. Sepanjang perjalanan aku mengingat tentang masa lalu itu, bagaimana ayahku melawan para prajurit itu dan bagaimana ibuku membantu mengobati luka para korban. Semua itu masih teringat jelas dipikiranku.

     “Velan, kita udah sampai.” kata Kak Meena hingga membuyarkan lamunanku. “Velania, hati-hati ya.”

     “Baiklah Kak, semoga sukses ujian prakteknya.” ucapku seraya melambaikan tangan kepada Kak Meena.

     Akhirnya aku tiba di tempat liburanku, tempat ini begitu banyak yang berubah. Dulu tempat ini begitu ramai, tapi sekarang sudah tak berpenghuni. Aku melihat sebuah bangunan yang hampir roboh, yah itu adalah rumahku yang dulu. Dinding-dinding dan atap yang sudah mulai rapuh, sisa makanan dan obat-obatan berserakan dimana-mana. Aku mulai masuk ke kamarku, boneka kesayanganku masih ada di sana. Aku memeluk boneka beruang itu, aku masih ingat bagaimana ibu memberi boneka ini sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-4 tahun.

     Kemudian aku pergi keluar rumah. Saat aku melangkah keluar, tak sengaja kakiku menginjak selembar kertas yang sudah robek. Vela, kamu tidak usah khawatir dengan ibu. Ibu baik-baik saja dan ibu tidak akan meninggalkanmu. Kamu harus memiliki keberanian dan hati yang mulia, karena itu akan mengantarkanmu kepada kebaikan. Tak terasa air mataku mulai menetes. Lalu, tiba-tiba saja seorang lelaki menarikku untuk bersembunyi.

     Dari postur tubuhnya, sepertinya aku mengenalinya. Dia adalah Roy, teman kecilku dulu. “Roy, aku kangen banget sama kamu.” ucapku tak percaya bisa bertemu dia lagi. “Ngomong-ngomong, ada urusan apa kamu ke sini?” tambahku.

     “Aku ingin menyelamatkan orang-orang di sini.”

     “Menyelamatkan orang-orang di sini ? Maksudnya ?”

     “Hadduh … Ternyata kamu ini masih sama seperti dulu. Maksud aku, orang-orang di sini yang kita pikir udah meninggal itu ternyata masih hidup. Tetapi musuh membuatnya seakan-akan sudah mati.”

     “Apa ? Bagaimana kamu bisa yakin Roy ?”

     “Aku melihat salah seorang prajurit berkeliaran di daerah sini. Aku mengikutinya dari belakang, ternyata dia masuk ke sebuah bangunan. Lalu dia membuka pintu rahasia yang nantinya akan menembus ke ruang bawah tanah.”

     “Kita harus menyelamatkan mereka bagaimanapun caranya. Aku tidak akan bisa tahan jika orang tuaku harus mengalami penderitaan ini. Roy, sepertinya kita harus bekerja sama.”

     Kita mulai menyusun rencana untuk membebaskan para tawanan itu. Roy akan menyamar sebagai salah satu dari anggota musuh dan aku akan mengalihkan perhatian musuh. Kita akan memulai rencana itu pada waktu malam hari saat mereka sudah mulai terlelap.

     Tepat pukul 11 malam aku dan Roy memulai permainan ini. Aku menggunakan pakaian serba hitam dan membawa tas yang aku tidak tau telah diisi apa oleh Roy. Dan Roy menggunakan pakaian yang sama dengan pakaian yang dipakai oleh musuh. Tidak lupa Roy mengambil 3 buah pistol dari dalam lemari milik prajurit, satu untukku dan dua untuknya.

     Aku dan Roy mulai memasuki gedung tersebut, Roy memasuki pintu rahasia tersebut, lalu berjalan menuruni tangga. Sesampainya di bawah, Roy mengecek sekeliling. Ternyata, semua musuh berada di bawah tanah. Lalu bagaimana caraku untuk menyelamatkan warga kota ? pikirku.

     “Roy, apa kamu yakin kita bisa melawan mereka semua ?”

     “Aku yakin sekali kalau kita bisa membalas perbuatan mereka.”

     “Lalu bagaimana rencana kita selanjutnya ? Kita hanya dua orang saja dan mereka ada banyak.”

     “Aku ada ide, aku pergi kesana untuk membawa mereka ke atas, lalu kamu masuk ke sana dan membebaskan para tawanan itu. Ayo, kita mulai dan selesaikan permainan ini. Oh ya, di dalam tasmu ada banyak benda tajam, kamu bisa memberikan itu kepada warga kota itu setelah kamu membebaskan mereka. Kamu mengerti kan?”

     “Ya, aku mengerti.”

     Roy mulai berpura-pura menjadi bagian dari musuh tersebut. Roy mulai mengajak mereka ke atas untuk berpesta merayakan penderitaan warga kota. Setelah itu, aku mulai masuk ke ruang tahanan Lalu, aku mengambil satu set kunci di saku celana prajurit tersebut lalu masuk ke sebuah ruangan. Terdapat banyak sel disana, sekitar 20 sel dan setiap sel diisi 15 orang. Sejenak, aku memperhatikan satu sel. Di dalamnya ada orang tuaku, mereka terlihat kurus sekali dan pucat.

     “Ibu, Ayah!” kataku sambil meneteskan air mata.

     “Velania, putri Ibu.” ucap ibu tak percaya bisa melihatku lagi di situasi yang seperti ini. Kemudian kami berpelukan yang dipisahkan oleh logam berkarat itu.

     “Tenang Ibu, aku akan membebaskanmu.” lalu aku mulai memasukkan kunci, akhirnya pintu sel terbuka. Aku mulai membagi dua kunci tersebut bersama ibu. Dan kita berhasil membebaskan samua orang, aku mulai membagi benda tajam kepada warga kota untuk siap berperang yang kedua kalinya.

     Pesta berlangsung dengan gembira, sudah banyak yang minum sampai tidak sadarkan diri. Dan pada saat itulah Roy memberikan aba-aba untuk mulai berperang. Para warga mulai datang dan membunuh para musuh tanpa rasa kasihan sedikitpun karena mengingat bagaimana kejamnya musuh menyiksa mereka dengan pedang yang dipanaskan. Penderitaan itupun berubah menjadi semangat yang sangat tinggi.

     Musuh terkejut akan kedatangan para tawanan tersebut. Dalam keadaan mabuk musuh tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakan nyawanya. Akhirnya kemerdekaan dapat direbut kembali oleh warga kota setelah menempuh penderitaan yang begitu menyakitkan.

     Lalu aku menghampiri kedua orang tuaku dan memeluk mereka berdua. Disebrang jalan aku melihat Roy dan keluarganya. Roy terlihat begitu senang bisa berkumpul bersama orang-orang yang dicintainya kembali. Tidak hanya Roy, tetapi semua orang juga begitu. Akhirnya, kami menjadi keluarga kecil yang bahagia kembali. Dan mulai saat ini juga, aku tidak akan pernah melepaskan genggaman ayah dan ibu dari tanganku. Tidak akan pernah.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah komentar di artikel ini, jangan lupa berkunjung ke artikel lainnya ya ~~~

Mortal World

In this world that is increasingly unpredictable, gray, and competition is so fierce, we are required to face it all. A tough test of wealth...