SAMPAIKAN
SALAMKU PADA PUNCAK
Selasa, 13
September 2016
Jantungnya berdegup kencang saat memasuki
ruangan tersebut. Tangan yang memegang seikat bunga mawar itu bergemetar.
Bibirnya sudah tak sanggup untuk berkata lagi, matanya mulai memanas. Setetes
demi setetes air mata berlomba jatuh ke pipinya. Suara
monitor yang berbunyi memecah
keheningan itu terdengar menyakitkan.
“Selamat malam, Ve. Bagaimana kabarmu? Lihatlah, aku
bawakan bunga kesukaan kita.” ucap Ara sambil meletakkan bunga dalam vas di
sebelah kanan ranjang itu. “Jujur saja, Ve. Aku tidak suka melihat kabel-kabel
itu di tubuhmu. Aku yakin kamu pasti baik-baik saja. Dokter-dokter di sini
memang sedikit berlebihan.” Hening. Tidak ada suara. “Ve, jawablah. Aku bicara denganmu, bukan monitor itu.”
kini air mata sudah tidak bisa ia bendung lagi. Ara menangis untuk yang
kesekian kalinya.
“Ah,
sudahlah. Mungkin kau tidak merindukan aku. Bersenang-senanglah di kehidupan bawah sadarmu.” ucapnya sambil menghapus air mata. Itulah
kata terakhir yang Ara ucapkan sebelum ia bangkit dari tempat duduknya dan
meninggalkan seorang gadis yang tergeletak tidak berdaya.
Tidak
ada siapa pun di sini.
Semua orang tidak kuasa melihat keadaan gadis kecil itu. Tanpa
ada yang menyadari, kedua mata gadis itu mulai terbuka secara perlahan. Semua terlihat buram. Hanya remang-remang cahaya
yang ia lihat. Semakin lama pandangannya semakin jelas. Ia bisa melihat seikat mawar putih yang tumbuh segar dalam
vas bunga berwarna merah muda.
Kepalanya terasa sakit. Ia tidak bisa
mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Ia terus berusaha untuk mengingat.
Namun ia gagal. Bibirnya
terangkat ingin mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang sangat ia sukai, sesuatu yang
berbahaya dan sangat menantang. Perlahan-lahan
pikirannya mulai terbuka. Hatinya menguat akan sesuatu. Suatu hal yang terjadi
dua minggu yang lalu.
***
Selasa, 30 Agustus 2016
Setelah
melakukan pelatihan dan perbekalan selama sebulan, akhirnya hari yang
ditunggu-tunggu telah tiba. Pukul 3 dini hari, Veyla, Ara, serta 8 anak pecinta
alam lainnya tengah berada di perjalanan menuju Gunung Ciremai yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan
pendakian melalui jalur Linggarjati yang melewati Kabupaten Kuningan.
Sebelum sampai di Desa Linggarjati, mereka melewati
Gedung Perundingan Linggarjati dan Basecamp Ranger Linggarjati. Sesampainya
di Desa Linggarjati,
mereka menurunkan semua perlengkapan. Sebagian
ada yang mengurus SIMAKSI
(Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) dan membeli tiket,
yang lainnya bertugas mengecek ulang logistik dan perbekalan. Linggarjati adalah
sebuah desa tempat start pendakian. Di desa ini, suasana terasa ramai oleh hiruk
pikuk para pendaki lainnya. Veyla dan Ara memilih menghindar dari keramaian
untuk menikmati
segarnya udara pagi di kaki gunung dan fajar yang mulai terbit di ujung timur.
“Ra,
pantesan aja waktu zaman kolonial dulu, Linggarjati ini jadi tempat perundingan dan peristirahatan favorit
para penguasa. Ternyata, sangat
sejuk
ya suasananya.” ucap
Veyla sambil memejamkan mata mempersilahkan sinar mentari pagi menghangati
kedua matanya.
Ara
hanya membalas dengan senyuman kecil yang terukir di kedua sudut bibirnya.
Tidak mau kalah dengan Veyla, Ara pun berbaring di atas rerumputan dan
membiarkan seluruh tubuhnya terkena cahaya matahari.
Baru
saja Ara memejamkan mata, suara peluit dari Azzam, ketua pendaki hari ini,
berbunyi untuk memulai
breafing
dan
doa.
“Baiklah.
Pada pendakian kali ini, saya
akan membagi tugas. Rey dan Kido saya tunjuk sebagai tim navigator, karena kalian sudah pernah ke sini dan saya yakin kalian cukup hafal dengan rutenya. Sementara Jason dan Avri, kalian sebagai tim sweeper,
karena badan
kalian lebih kuat dan sikap kalian yang cekatan.” tutur Azzam memberi
pengarahan dalam manajemen perjalanan. “Saya sendiri di sini sebagai leader
yang akan membuat keputusan dan memastikan bahwa pendakian berjalan sesuai
rencana.” tambahnya lalu dilanjutkan dengan berdoa.
Pukul 07.00 WIB, perjalanan pun dimulai. Start
melalui gapura kecil yang dilanjutkan menyusuri ladang penduduk dan hutan
tropis dataran rendah. Di hutan ini, nampak pohon pisang dan rotan-rotan yang
tumbuh menjalar sehingga
menambah kesejukan.
Sepanjang
perjalanan, tidak ada suara yang terdengar dari mulut mereka, kecuali pengarahan yang sesekali diberikan oleh Azzam. Mereka fokus pada medan perjalanan dan
selalu bersikap hati-hati.
Setelah
berjalan
sekitar 40
menit, tibalah mereka di Pos Cibunar atau sering disebut Camping Ground. Suasana
di sana
sangat ramai untuk ukuran lahan datar di hutan. Walaupun Pos Cibunar ini luas,
tetapi terasa penuh sesak oleh tenda dan aktivitas para pendaki. Di pos ini
juga menyediakan makanan dan minuman yang menggugah selera.
“Ra,
laper nih. Butuh cemilan pagi.” kata Veyla pada Ara yang berdiri di sebelahnya
sambil menoleh ke kanan dan kiri mencari tempat duduk kosong di salah satu
warung.
“VeRa,
duduk di sini aja. kosong tuh.” Retha, kakak kelas yang memberikan 2 tempat
duduk kosong kepada Veyla dan Ara tepat di depannya. Ada pula Fina dan Chika
yang berada di samping Kak Retha.
Tanpa
berpikir panjang, mereka langsung duduk di bangku tersebut. Dan tanpa waktu yang lama pula, hangatnya teh dan gorengan
pun langsung segera bergantian melewati kerongkongan dan mengisi lapar di
perut.
Setelah
perut terisi, barulah mereka segera membagi tugas. Kido, Avri,
Rey, dan Jason bertugas mengambil air di pos ini. Karena di pos inilah
sumber mata air terakhir, dan sepanjang perjalanan nanti sudah tidak terdapat
sumber mata air lagi.
Setelah
semua persediaan air tercukupi untuk 10 orang selama 2 hari dan semua telah
siap melanjutkan perjalanan, maka pendakian pun dimulai kembali. Pos demi pos
telah mereka lalui walau dengan peluh dan keringat, tetapi perjalanan ini tetap
terasa menyenangkan.
Setelah
melalui Pos Leuweung Datar dan Pos Kondang Amis, mereka menuju ke Pos Kuburan
Kuda, sebagai pos ke-4. Trek
ke pos ini cukup jauh dan lama. Jalur tanah padat, trek yang cukup sempit, dan
akar pepohonan yang mulai mendominasi membuat mereka harus
meningkatkan kewaspadaan. Pukul 12 siang tepat mereka tiba di pos tersebut.
Perjalanan dihentikan untuk sekedar beristirahat dan memasak.
Pada
tugas kali ini, perempuanlah yang bekerja. Kak Retha bertugas menanak nasi,
Veyla dan Chika memasak sayur sop, serta Ara dan Fina bertugas memasak tahu dan
tempe. Setengah jam kemudian, nasi beserta lauk pauknya sudah disiap untuk
disantap.
“Meski
makanannya sederhana, tetapi terasa nikmat ya, Ve?” Veyla tidak menjawab
pendapat dari Ara dan hanya menganggukkan kepala, ia sedang fokus pada
makanannya. Selesai makan, sampah tidak lupa disimpan karena kebersihan juga perlu
dijaga. Kemudian mereka istirahat sejenak sebelum memulai perjalanan.
Azzam
melirik arlojinya, sudah pukul 13.00 WIB, itu artinya perjalanan harus dimulai
kembali. Setelah packing dan memeriksa logistik, perjalanan pun dilanjutkan kembali.
Sepanjang perjalanan terasa sangat mengasyikkan, karena
perut dan kondisi medan yang tidak gersang. Di Gunung Ciremai ini, walau
medannya menanjak dan curam, tetapi kondisi hutannya masih terjaga. Inilah yang
membuat perjalanan terasa sejuk walau di siang hari.
Setelah
melewati Pos Pangalap, kini saatnya mereka melewati trek yang lebih curam dan
menanjak untuk sampai di Pos Tanjakan Seruni. Tanjakan yang menguras tenaga dan
memacu adrenalin para pendaki. Tanjakan ini berada di 1825 meter di atas
permukaan laut.
“Veve!!!”
teriak Ara sambil berpegangan pada kaki Veyla. Ara hampir saja terpeleset saat
merunduk di sebuah jalur yang tertutup pohon tumbang.
“Hati-hati,
tetaplah fokus dan waspada dengan treknya. Jangan ada yang bercanda. Sekali kesalahan bisa berakibat
fatal.” ucap Azzam mengingatkan mengenai jalur yang sedang dilalui.
Cobaan
tidak sampai di situ saja, mereka pun harus mendaki dengan berpegangan
akar-akar tumbuhan karena curamnya medan. Ara yang semula berada di belakang
Veyla, kini sudah berada di depan Veyla.
Urutan
pendakian dari yang paling depan yaitu Rey, Kido, Fina, Chika, Azzam, Ara, Veyla,
Kak Retha, Jason, serta Avri.
Azzam sesekali membantu Ara yang nampak kelelahan memanjat tanah yang cukup
licin.
Setelah
sampai di Pos Tanjakan Seruni, mereka istirahat sejenak. Pos ini tidak terlalu
luas. Di tempat ini hanya bisa mendirikan 3-4 tenda saja. Dan beruntunglah,
masih ada 1 tenda yang berada di pos ini. Mereka memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan esok pagi dan akan bermalam di sini.
“Baiklah,
sekarang kita akan mendirikan 2 tenda. 1 tenda cowok dan 1 tenda cewek. Kita
akan membagi tugas. 2 orang dari masing-masing tenda akan memasak. Dan sisanya
mendirikan tenda.” jelas Azzam.
Setelah
berdiskusi dengan tim tenda, Veyla dan Ara bertugas menanak nasi. Kak Retha,
Fina, dan Chika akan mendirikan tenda. Sedangkan Azzam dan Jason akan memasak
sayur bayam dan tempe goreng. Rey, Adit, dan Kido mendirikan tenda.
“Ve,
pergelangan kaki kananku sakit. Mungkin karena tadi aku habis jatuh kali, ya?”
ucap Ara pada Veyla saat mereka sedang menanak nasi.
“Coba
sini aku lihat.” Veyla menggerakkan sedikit kaki Ara. Ara pun meringis
kesakitan. “Bentar, aku ambil minyak kayu putih dulu. Di sini banyak nyamuk.” tambahnya.
Setelah
Veyla kembali, ia pun mengoleskan dan memijat minyak kayu putih di pergelangan
kaki kanan Ara. “Gimana? Sudah
lebih baik?”
tanya Veyla.
“Lumayan,
Ve. Udah bisa digerakkin sedikit-sedikit.”
“Nih,
enak banget aku yang mijit. Sana pijit sendiri, aku akan menyiapkan nasi.” Veyla menyerahkan
botol minyak kayu putih kepada Ara.
“Siap,
Bos.”
Setengah
jam kemudian, semua makanan sudah siap untuk disantap. Setelah acara makan
selesai, mereka pun melanjutkan dengan obrolan yang mulai serius.
“Apa
ada yang sakit di sini?” tanya Azzam kepada seluruh anggotanya.
“Ara,
kaki kanannya sedikit terkilir.” balas Veyla.
“Saya
tidak sakit, hanya saja sangat lelah setelah melakukan perjalanan.” jawab Jason
yang disertai dukungan dari Rey dan Adit.
“Ara,
apa terkilirnya parah?” Azzam menghampiri Ara sembari melihat kondisinya.
“Tidak.
Sudah mulai membaik. Besok masih bisa ikut pendakian selanjutnya.” jawab Ara
apa adanya.
“Baiklah,
saya di sini akan menegaskan sesuatu. Apapun yang terjadi, pendakian ini harus
berhasil sampai ke puncak dan mengibarkan Bendera Merah Putih dan bendera tim.
Misalnya, ada kejadian di
luar dugaan, anggap saja pendakian kita ini menggunakan sistem Himalayan
Tactic walau dalam skala kecil. Jika Ara masih sakit dan tidak kuat untuk melanjutkan
perjalanan, kita bagi tim menjadi dua. Sebagian ada yang menjaga Ara, dan
sebagian lagi melanjutkan pendakian.”
“Tidak,
Zam. Aku masih bisa melanjutkan pendakian. Ini hanya terkilir biasa. Besok juga akan sembuh.”
Ara merasa tidak enak dengan semuanya.
“Baiklah,
besok kita semua akan melanjutkan pendakian. Sekarang, acara dilanjutkan dengan
pesta api unggun.” kata
terakhir dalam kalimat tersebut sontak membuat semua anggota memamerkan senyum terbaiknya, tidak terkecuali Veyla dan Ara.
Api
unggun yang dibuat sengaja tidak begitu besar, hanya menggunakan
ranting-ranting kecil yang kering. Walaupun begitu, cukup untuk menghangatkan
suasana. Kami pun menikmati suasana malam di tengah hutan sambil meminum teh hangat.
“Sudah
pukul 9 malam, besok kita sudah harus melanjutkan perjalanan pukul 6 pagi.
Silahkan masuk ke tenda masing-masing.”
***
Tepat
pukul 6 pagi hari, setelah packing dan persiapan selesai, mereka pun berangkat
melanjutkan pendakian. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai di pos
selanjutnya, yaitu Pos Bapa Tere.
Kali
ini medannya lebih sadis dan curam dari sebelumnya. Perjalanan menuju Pos Bapa
Tere akan terasa lebih berat dan melelahkan. Bapa Tere dengan ketinggian 2025
meter di atas permukaan laut adalah sebuah tanjakan yang harus dilalui dengan
memanjat karena kemiringannya berkisar 70 sampai 90 derajat. Jalur ini merupakan trek yang terkenal akan kesusahannya di
sepanjang jalur Gunung Ciremai. Selain
itu, jalur
Bapak Tere juga termasuk
dalam 7 jalur pendakian paling ekstrem di Indonesia.
Tak
berapa lama, sampailah mereka di trek yang paling ekstrem tersebut. “Di sini,
kalian harus memanjat dan berpegangan pada akar pohon untuk sampai ke atas.
Harus diperhatikan bahwa nyaris tidak ada lokasi datar untuk membuat tenda,
kecuali membuat tenda darurat atau membuka lokasi di rerimbunan pohon.” jelas
Azzam dengan posisi sama seperti semula, yaitu berada di depan Ara dan di
belakang Chika.
Di
tengah-tengah tanjakan ekstrem yang mempunyai kemiringan hampir 90 derajat
dengan bebatuan di sekitarnya itu, Veyla mulai merasa pusing dan lelah. Ia tahu
bahwa itu adalah gejala awal dari penyakit ketinggian. Saat Veyla hendak
melapor tentang keadaannya, tiba-tiba tangan Ara terpeleset dari akar pohon,
dan kaki yang
masih agak terkilir menyebabkan tubuhnya bertumpu pada Veyla. Veyla yang berada
dalam kondisi tidak stabil terpelenting jatuh ke bawah. Dengan waktu yang
bersamaan, Azzam segera menahan Ara dari atas dan Jason menahan Kak Retha yang
hampir jatuh, sedangkan Avri
berusaha mengambil Veyla namun ia terlambat.
Karena
trek yang terlalu miring mengakibatkan Veyla dengan cepat menggelinding ke
bawah menabrak beberapa batang
pohon,
dan di belakangnya juga ada beberapa batu yang cukup besar ikut menggelinding.
Tubuhnya terhenti ketika tangannya menahan salah satu batang pohon. Namun, batu
di belakangnya terus menggelinding dan menabrak tubuh kecilnya. Veyla merasa sakit di
seluruh tubuh dan tiba-tiba semua pandangannya menjadi gelap.
***
Veyla membuka mata. Ruangan itu sudah tidak
asing lagi baginya. Dia bisa mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Sakit yang
ada pada sekujur tubuhnya, untuk sejenak tergantikan oleh senyum pahit yang
terukir di kedua sudut bibirnya.
Sia-sia,
sungguh sia-sia. Aku tidak bisa menikmati indahnya puncak Gunung Ciremai yang
indah itu. Saat ini, aku hanya berbaring lemah beralaskan kasur dengan infus
yang menempel bagaikan magnet. Perbekalan yang telah kusiapkan selama sebulan, sudah
tiada artinya. Kini, aku hanya bisa menitipkan salam pada udara yang terhembus
dari nafasku. Berharap ia akan menyampaikan pada puncak di mana pernah menjadi
tujuan perjalananku.